Rabu, 04 Maret 2009

PROBLEMATIKA ANAK REMAJA




OLEH:DODO.Z


86 % Penghuni penjara didunia, telah memulai karier negatifnya sejak usia mereka 12 tahun ( Monterdue, 2004 ). Prilaku negatif anak remaja akan tersembunyi secara rapi dibalik norma yang berlaku didalam keluarga mereka. Mereka bisa saja tampak tenang dan stabil dirumah, namun sangat agresif diluar rumah atau sebaliknya … mereka bisa tampak nakal dan agresif di rumah, namun sangat stabil dan tenang diluar rumah.

” Healthscoutnews 2006 ” : 97 % wanita perokok di Amerika mulai merokok sejak usia mereka 12 - 15 tahun.
Robert Kiyushaki, seorang motivator bisnis terkenal didunia merasa mulai karier profesinya sejak ia berusia 11 tahun.

  • Donald Trump, telah mengawali dunia usahanya ketika ia berusia 12 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Bussiness News tahun 2002, telah menemukan bahwa; hampir sebagian besar pengusaha yang berhasil di benua eropa, asia dan amerika telah mengawalinya ketika mereka berusia 10 - 14 tahun.
Julius Robert Oppenheimer, penemu Bom Atom telah memulai penyelidikannya sejak ia berusia 11 tahun.
Vilfredo Pareto, penemu Diagram Pareto sudah gemar membuat pemetaan dan grafik sejak usia 10 tahun.

Pada tanggal, 22 april 1915 satu jam setelah ia merayakan ulang tahunnya, ia dimaki-maki ayah dan ibunya karena bermain-main dengan kereta bayi dan dinamit.
Masalahnya ……

  • “Hanya 8% anak remaja yang benar-benar bisa belajar di rumah mereka”
  • “13% anak remaja mengalami gangguan kinaestetik dan konsentarsi belajar akibat ketidak-seimbangan kerja hemisphere”.

Beberapa tokoh terkenal :

  • Kris Dayanti
  • Susilo Bambang Yudoyono
  • Kris Watimena
  • Shanti Manohutu
  • Tukul Arwana
  • Subronto Laras

Hampir sebagian besar perubahan kehidupan anak-anak remaja disebabkan oleh kekecewaan yang dialaminya.
Jadi bukan karena ia cerdas atau tidak cerdas
Kekecewaan sosial remaja :

  • · 11% akibat konflik dengan teman sebaya
  • · 4% akibat konflik dengan guru sekolah
  • · 84% akibat konflik dengan orang tua mereka
  • · 1% oleh lainnya

Itu berarti bahwa :

  • · 11% akibat konflik dengan teman sebaya
  • · 88% akibat konflik dengan orang dewasa disekitarnya
  • · 1% akibat hal lainnya

Ada Apa Dengan Orang Dewasa ?
Beberapa pelanggaran orang dewasa menurut anak remaja :
Pertama : Orang dewasa selalu ingin menguasai anak remaja.
Kedua : Orang dewasa selalu menganggap anak remaja sebagai anak yang masih kecil.
Ketiga : Orang dewasa lebih senang mencela/mengkritik dari pada mensupport pada anak remaja.
Keempat :Orang dewasa sering menarik kembali hak yang telah diberikan kepada anak remaja.
Kelima : Orang dewasa lebih cepat emosi, dan mau menang sendiri ketika berdiskusi dengan anak remaja.
Keenam : Masih banyak lagi, dan tidak terhitung jumlahnya.

Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya ?

1. Harus adanya pendidikan bagi mereka yang menekankan pada Pendidikan Watak & Kepribadiannya.

2. Harus adanya usaha yang besar dari orang tua / orang dewasa untuk Menanamkan Moralitas & Keyakinan Beragama pada anaknya.

3. Harus didorong & dibina tumbuhnya Tanggung Jawab Sosial pada anak, sesuai dengan Fase Perkembangannya.
Kemudian harus bagaimana tahapan-tahapannya ?

Selidiki….

Amati….

& Pikirkanlah….

” INNER WILL ” Mereka.

contoh dan cara menanggulangi tawuran antar pelajar

Tawuran, Extrakurikuler Pelajar SMK..!

Tawuran Antar Pelajar SMK | Kota Palembang



Cuaca terasa sangat panas di sekitar kaki lima pertokoan warga keturunan Tionghoa serta beberapa ruas jalan di Jembatan Ampera. ironisnya, keadaan ini tidak begitu dihiraukan para pelajar beberapa sekolah kejuruan untuk menggelar operasi tawuran yang sasarannya tidak lain adalah pelajar yang mungkin sejurusan dengan mereka yang hanya beda sekolah. Ujungnya, tepat pada tanggal 17 Agustus 2007 tadi. Dimana ratusan ribu pelajar di tanah air sedang melaksanakan upacara pengibaran sang saka merah putih di sekolah masing-masing, beberapa pelajar kejuruan dari berbagai sekolah kejuruan di Kota Palembang malah mengisi hari penting tersebut dengan kegiatan saling lempar batu, kejar-kejaran antara mereka bahkan pemukulan secara beramai-ramai dan penusukan. Dalam aksinya mereka yang radikal ini, mereka akan tidak segan untuk melempari atau bahkan mengeroyok pihak yang mencoba menjadi penengah sekalipun itu Polisi.

Aksi brutal mereka ini sangat menyedot perhatian warga Kota Palembang. Sebab dalam aksinya ini mereka menggunakan tempat-tempat yang biasa dilewati masyarakat banyak. Beberapa tempat yang menjadi langganan mereka ini seperti Jembatan Ampera, depan RS. Charitas, Beberapa pusat perbelanjaan, Jalan Raya dan tidak jarang disalah satu sekolah yang menjadi sasaran mereka.

Tawuran telah menjadi icon baru kebebasan remaja serta palajaran tambahan bagi mereka selain pelajaran yang biasa diajarkan. Yang mau tidak mau diikuti selepas jam belajar normal di sekolah mereka. Disini mereka (biasanya terdiri dari para pelajar yang malas, badung, suka melawan Guru) mereka akan menjelma menjadi sosok manusia liar yang sangat sulit untuk di jinakkan apalagi ditaklukkan. Mereka hanya menuruti hasrat mereka tanpa memikirkan resiko yang muncul di kemudian dari aksinya ini. Pada masa inilah jiwa mereka benar-benar dalam keadaan labil plus.

Yang kalangan Ustadz biasa menyebut rentang waktu adaptasi ini sebagai masa "serba aku". Sebab di dimasa ini mereka sedang mencoba mencari jati diri mereka. Mereka menganggap hanyalah dirinya yang diberikan kesempurnaan oleh Tuhan. Mereka menganggap hanya dia yang cantik rupanya, paling berani nyalinya, paling hebat dalam menyelesaikan masalah baik di sekolah maupun kehidupan sehari-hari khususnya rumah tangga, menganggap hanya dirinya yang berilmu dan berharta, kuat fisiknya dsb. Yang pokonya serba Aku.


Pandangan masyarakat akan Tawuran

Ngeri. Mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi saat terjadinya tawuran pelajar. Betapa tidak, puluhan bahkan ratusan nyawa melayang dari tahun ke tahun hanya karena disebabkan alasan-alasan sepele yang pada dasarnya tidak dimengerti oleh para pelaku tawuran itu sendiri. Dendam almamater yang dihembuskan para pelaku tawuran secara turun-temurun, atau hanya dikarenakan tersinggung oleh perlakuan pelajar dari sekolah lain dapat memicu terjadinya tawuran tersebut.

Tawuran pelajar kota ini sepertinya sudah menjadi menu berita sehari-hari dalam beberapa surat kabar harian kota Palembang, yang tak pernah absen dari media massa. Menurut catatan media, frekuensi tawuran meningkat tajam dari 93 kasus pada tahun 1995/1996 menjadi 230 kasus pada tahun 1999 (Kompas, 23 Februari 1999). Dan mungkin lebih berlipat ganda lagi jumlahnya pada tahun-tahun belakangan ini maupun untuk tahun yang mendatang jika tidak disegerakan upaya penanggulangannya dalam bentuk yang lebih konkrit.

Penyebab Terjadinya Tawuran

Amatlah kompleks jika ingin menelusuri penyebab apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tawuran ini. Tidak ada penyebab tunggal yang dapat dituduh sebagai dalang dibaliknya. Faktor sosiologis, budaya, perkembangan fisik dan psikologis remaja, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang terlalu padat ataupun terlalu longgar misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota turut serta mempengaruhi tindakan remaja dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini, biasanya ditemukan pada remaja yang terlibat perkelahian pelajar adalah mereka-mereka yang kurang mampu melakukan adaptasi terhadap situasi kompleks tersebut.

Seperti kita ketahui, masa remaja adalah bagian dari tahapan pertumbuhan manusia. Banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda memasuki usia remaja, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Dan pada perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.

Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan sebagainya. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya pada saat ini.

Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini dengan sukarela. Melainkan selalu terlihat adanya bantahan secara langsung maupun tak langsung. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan "kenyataan" yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Contohnya, jika selama di sekolah, para remaja selalu menerima pelajaran-pelajaran tentang moral, sedangkan di lain pihak sistem-sistem moral yang pernah diajarkan tersebut kenyataannya dalam lingkungan tidaklah pernah diperdulikan oleh masyarakat sebagai sebuah pedoman hidup bermasyarakat, maka remaja dapat dengan mudah merekonstruksi pola pikir bahwa: ajaran moral yang selama ini mereka terima secara bulat-bulat di bangku sekolah tidaklah harus selalu dipatuhi - sesuai dengan "kenyataan" yang baru mereka alami -. Selanjutnya tentu saja timbul hal lain yang tidak dapat dihindari: timbullah berbagai bentuk ‘pemberontakan’ remaja, seperti tawuran remaja ini misalnya.

Dalam hal kesadaran diri, pada masa perkembangannya para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain (terutama teman sebaya), karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Dan demi pencapaian "citra diri yang baik" tersebut, mereka rela melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap baik di hadapan teman-temannya agar lebih diakui keberadaannya.

Hal-hal yang terjadi seperti disebutkan di atas, kemungkinan disebabkan karena para remaja sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat "tidak memikirkan akibat" dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang dari perbuatannya.

PENANGGULANGAN TAWURAN REMAJA

Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kualitas kinerja dan mental yang lebih baik. Terlebih dalam menghadapi era global saat ini, kesiapan remaja lokal sebagai bagian dari Sumber Daya Manusia yang berpotensi sangatlah diharapkan peranannya untuk turut serta membangun kota palembang dan bangsa ini agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Tetapi di lain pihak, harapan remaja sebagai penerus bangsa yang menentukan kualitas negara di masa yang akan datang sepertinya bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, jika melihat maraknya aksi tawuran pelajar yang didominasi oleh kaum remaja. Untuk itulah diperlukan berbagai daya dan upaya sebagai langkah konkrit turut serta menanggulangi kenakalan remaja pada umumnya dan tawuran pelajar khususnya.

Banyak jalan menuju Roma. Begitu juga, banyak cara menanggulangi kenakalan remaja tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan perpustakaan, sesuai dengan topik pembahasan pada kesempatan kali ini.

Mengapa perpustakaan dan Masjid? Bagaimana mungkin perpustakaan dan masjid dikatakan dapat membantu penanggulangan tawuran pelajar? Bukankah perpustakaan dan masjid itu hanyalah benda mati yang tidak dapat berbuat apa-apa? Sedangkan yang akan ditangani adalah masalah manusia, makhluk hidup yang sangat kompleks dan tentu saja adalah si pembuat perpustakaan tersebut? Bagaimana mungkin sebuah karya cipta (perpustakaan & Majid) mampu menanggulangi permasalahan dari si penciptanya (manusia) sendiri?

Berjuta pertanyaan mungkin saja menghampiri benak kita sebagai pembaca ketika melihat judul tulisan ini. Tetapi, Ya. Pada kenyataannya perpustakaan dan agama memang mampu melakukan hal tersebut. Meskipun perpustakaan dan masjid adalah benda tidak bernyawa secara kasat mata, di sisi lain perpustakaan & masjid justru mampu memberikan "ruh" bagi kehidupan manusia. Betapa tidak, di dalam perpustakaan tersedia sejumlah buku-buku yang mampu menerangkan berbagai fenomena kehidupan, sedangkan di dalam masjid itu sendiri tersedia beberapa nilai dan ketenangan yang luar biasa. Dari sinilah, ketika manusia memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka manusia akan mengakui bahwa perpustakaan dapat berperan dalam proses pengembangan diri dan masjid dalam mengoreksi tindakan mereka. Lebih jauh lagi, perpustakaan & Masjid bahkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) dari manusia.

Sepanjang sejarah manusia, perpustakaan & masjid telah banyak memberikan kontribusi yang amat besar dalam penanggulangan masalah ini. Masjid dengan kesederhanaan bangunannya, kerendahan hati penjaga masjid,Imam masjid dan para jemaahnya akan mampu memberikan rasa rileks di hati mereka. Sebab faktor utama yang sangat perlu di renovasi dalam jiwa mereka ialah kesadaran mereka akan Tuhan. Jikalau mereka yakin bahwa Tuhan yang dengan sifat-sifatnya sempurna-Nya tsb, Saya yakin 100 % semua tindakan mereka tersebut akan diukur oleh mereka dengan kaca mata agama. Jikalau mereka sudah mampu memilih yang terbaik dari tindakan mereka serta ingat akan balasan yang akan diterima dari dosa yang telah di perbuat, saya dan anda pasti sangat yakin mereka akan terhindar jauh dari yang namanya Tawuran.

Sedangkan Perpustakaan merupakan satu-satunya pranata ciptaan manusia tempat manusia dapat menemukan kembali informasi yang permanen serta luas ruang lingkupnya. Masyarakat juga selalu mengatakan bahwa perpustakaan mempunyai efek sosial, ekonomi, politik dan edukatif. Salah satunya juga dapat berperan dalam penanggulangan tawuran remaja yang merupakan masalah sosial dan edukatif. Bagaimana peran konkritnya, dapat dijelaskan melalui alasan-alasan di bawah ini.

Memanfaatkan Waktu Luang

Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain ini mereka bebas tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orang tuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat dibanggakan. Misalnya, ngebut tanpa lampu di malam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, pergaulan bebas diantara mereka dan juga TAWURAN.

Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya jika orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh kesibukan sehari-hari. Orangtua sebaiknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi remaja saja. Tetapi juga selayaknya memperhatikan perkembangan batin remajanya. Remaja, selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga - tempat mencurahkan kasih sayang - sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa kegiatan membaca di perpustakaan dan bermunajat di dalam masjid, misalnya.

Rabu, 25 Februari 2009

faktor tejadinya tawuran

Oleh:Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.

Dampak perkelahian pelajar
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.

Pandangan umum terhadap penyebab perkelahian pelajar
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.

Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.

Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.


Tinjauan psikologi penyebab remaja terlibat perkelahian pelajar

Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.

1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.

2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.

4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

tawuran anak sekolah di jakarta

TAWURAN PELAJAR : SEBUAH POTRET KEGAGALAN SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Gimana sich menyikapi tawuran pelajar yang marak di kota kita ? trus bagaimana peranan sistem pendidikan kita ? ikuti artikel ini
Faktor Psikologis dalam Belajar
Mungkin kita sudah mengetahui belajar bukan hanya berkaitan dengan faktor yang bersifat fisik saja, seperti: meja belajar yang nyaman, penerangan yang memadai, catatan yang rapi, dan lain sebagainya. Ada hal lain yang juga sangat menentukan dalam keberhasilan belajar sehingga harus kita perhatikan juga, yaitu berkaitan dengan faktor yang bersifat psikologis. .....
“The Lost Of Society” Oleh : Dodo.Zanwardi
Dengan munculnya banyak persoalan yang menerpa negara Indonesia akhir-akhir ini, mungkin kita akan bertanya-tanya, apa kiranya yang menyebabkan permasalahan bangsa sedemikian peliknya, hingga praktek “homo homini lupus” (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya) sepertinya tampak dilegalisasikan. Terlebih lagi, praktek “homo homini lupus” seakan-akan telah menjadi “kultur” bagi kebanyakan para elit politik di negara ini oleh karena prilaku elit politik di Indonesia memang memiliki kemiripan dengan “mental serigala”. Sehingga tanpa disadari ada proses transformasi kultur (homo homini lupus) dari elit politik ke masyarakatsa